Sejarah Suku Aceh Di Sumatera

Suku Dunia ~ Suku bangsa ini dalam kitab sejarah melayu disebut Lam Muri, Marcopolo yang singgah di sana pada tahun 1292 menyebutnya Lambri. Para penjelajah Portugis menyebutnya Akhir. Para penulis asing lain ada yang menyebutnya Achinese, Achehnese, Atchinese, Achin, Asji, A-tse, Atjeher. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya Ureung Aceh. Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembauran beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di Sumatera, yaitu Arab, India, Parsi, Turki, Melayu, Minangkabau, Batak, Nias, Jawa dan lain-lain. Asimilasi suku bangsa Aceh dengan suku bangsa lain malah melahirkan suku bangsa baru, yaitu suku bangsa Aneuk Jame dan Singkil. Daerah mereka biasa juga dijuluki Serambih Mekkah, Tanah Rencong, dan Bumi Iskandar Muda. Provinsinya sendiri mendapat status Daerah Istimewah sejak tahun 1959.

Suku bangsa Aceh boleh berbangga karena daerah mereka adalah pintu gerbang pertama masuknya kebudayaan Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad ke 12-14 Masehi. Pada zaman dahulu Aceh juga menjadi tempat persinggahan jamaah haji Nusantara sewaktu pergi ke Mekkah dan berlayar kembali dari Mekkah, sehingga dijuluki “Serambi Mekkah”. Pada zaman dulu masyarakat ini terbagi-bagi kepada sejumlah kerajaan kecil, seperti Indrajaya, Indrapuri, Indraputra, Pasei, Benua, Daya, Peureulak, Idi, Pidie, Meulaboh, Lingge dan lain-lain. Seluruh kerajaan tersebut akhirnya disatukan oleh Kesultanan Aceh Darussalam. Mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang gigih menentang kolonialisasi Belanda dalam perang yang lama dan melelahkan, yaitu dalam perang Aceh yang berlangsung selama 30 tahun (1873-1904). Suku bangsa Aceh mendiami daerah Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan sebagian di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat, serta kota Sabang dan Banda Aceh. Lebar (1964) membaginya menjadi orang Aceh pegunungan (ureueng gunong) dan orang Aceh  dataran (ureueng baroh).

Mata Pencaharian Suku Aceh

Masyarakat ini sebagian besar hidup dari mata pencaharian bertani padi di sawah dan ladang. Sebagian ada pula yang berkebun kelapa, cengkeh, kopi, lada, kelapa sawit, dan lain-lain. Mereka yang berdiam di pesisir pantai atau sungai umumnya bekerja sebagai nelayan. Pekerjaan-pekerjaan tersebut menggunakan peralatan sederhana seperti cangkoi (cangkul), langai (bajak yang ditarik kerbau atau sapi), creuh (sikat untuk meratakan sawah), sadeub (sabit) dan gleem (ani-ani). Pada zaman dahulu mereka terkenal sebagai prajurit-prajurit yang tangguh bersenjatakan rencong Aceh, ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng). Senjata-senjata itu umumnya buatan sendiri.

Bahasa Suku Aceh

Bahasa Aceh termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia, sub-rumpun bahasa Hesperonesia. Penutur bahasa ini diperkirakan berjumlah sekitar 2,5 juta jiwa yang tersebar di lima kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Bahasa Aceh terbagi kepada beberapa dialek, seperti dialek Pidie, Meulaboh, Matang, Aceh Besar, dan Tunong. Aksara yang pernah berkembang dalam masyarakat ini adalah tulisan Arab-Melayu yang mereka sebut tulisan Jawoi.

Sistem Kekeluargaan Dalam Suku Aceh

Bentuk kelompok kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah keluarga inti, karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah bilineal atau bilateral. Kerabat dari pihak ayah disebut wali atau biek, sedangkan kerabat dari pihak ibu disebut karong atau koy. Akan tetapi peranan pihak ayah cukup besar, antara lain karena saudara laki-laki ayah dapat menjadi wali dalam perkawinan, dan jika ayah kandung meninggal, maka yang menjadi wali si anak adalah saudara laki-laki ayah yang tua (ayah we) atau yang muda (ayah cut). Kelompok kerabat yang paling menonjol adalah keluarga luas uksorilokal, yaitu pengelompokan keluarga di lingkungan pihak perempuan. Karena setelah kawin anak tinggal beberapa bulan di rumah orang tuanya, tapi biasanya segera akan menbentuk rumah tangga sendiri dekat lingkungan pihak isteri.

Sistem Kemasyarakatan Dalam Suku Aceh

Bentuk pemukiman yang menjadi dasar kesatuan hidup komunalnya disebut gampong (kampung atau desa) yang umumnya terletak di pesisir dan dekat aliran sungai, selebihnya tersebar di daerah perbukitan, lembah dan pinggir hutan. Di sekitar gampong itu terhampar sawah dan ladang. Disetiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) atau dayah (pesantren) dan meusegit (masjid). Gampong dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang kepala mukim. Selain itu ada lagi wilayah gabungan beberapa mukim yang dikuasai oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada Sultan. Kehidupan social dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh para pemimpin informal, seperti imeum, meunasah, teungku khatib, teungku bile, dan tuha peut (penasehat adat). Sistem pemerintahan tradisional berbentuk gampong, mukim atau wilayah uleebalang ini sekarang sudah kabur sejak berlakunya penyeragaman pemerintahan desa.

Pada saat dahulu, masyarakat Aceh mengenal beberapa pelapisan sosial. Diantaranya ada empat yang masih dikenal, yaitu golongan keluarga Sultan, golongan Uleebalang, golongan ulama,  dan golongan rakyat jelata. Bangsawan keturunan Sultan yang laki-laki dipanggil  ampon dan yang perempuan dipanggil cut. Golongan Uleebalang adalah keturunan bawahan Sultan yang biasanya bergelar Teungku.

Agama Dan Kepercayaan Suku Aceh

Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang taat. Sungguhpun begitu diantara mereka ada yang masih menjalankan praktek kepercayaan animism dan dinamisme. Ada orang-orang tertentu yang bisa mempraktekan guna-guna atau ilmu ghaib dan kelompok masyarakat yang menjalankan beberapa upacara tradisional yang bukan berasal dari Agama Islam, seperti kenduri blang dan kenduri laut.
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Sejarah Suku Aceh Di Sumatera Silahkan baca artikel Suku Dunia Tentang | Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Sejarah Suku Aceh Di Sumatera Sebagai sumbernya

0 Response to "Sejarah Suku Aceh Di Sumatera"

Post a Comment

Sejarah Suku Lainnya